Minggu, 19 Februari 2017

Akal berada dibelakang lidah

Pilkada DKI 2017 mencatat fenomena baru. Bangkitnya partisipasi dan soliditas pemilih dari etnis Cina. Selama ini, etnis Cina dianggap sangat apolitis dan cenderung abai, bahkan menghindar dari urusan politik. Mereka lebih sibuk dan memfokuskan diri pada sektor ekonomi dan perdagangan. Hasilnya kini sangat terasa. Mereka menguasai semua sektor perekonomian, bahkan disebut-sebut segelintir taipan menguasai lebih dari 82 persen perekonomian Indonesia. Buah ketekunan ini sungguh dahsyat.

Di masa lalu, bukan fenomena mengagetkan bila dalam Pilkada atau Pilpres, etnis Cina memilih berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Tak mengherankan bila tingkat partisipasi mereka sangat rendah. Saat menjelang Pilkada dan Pilpres memang boleh disebut masa "susah" bagi etnis Cina yang dikenal sebagai pedagang yang ulet dan saudagar kaya. Banyak yang jauh hari sudah "menghilang" ke luar kota.

Sudah bukan rahasia mereka selalu menjadi sapi perah kalangan parpol atau kandidat, terutama incumbent. Di Medan, Sumatera Utara bahkan ada semacam anekdot "Untung Owe gunung. Kalau bukit, Owe sudah rata". Anekdot itu menggambarkan betapa banyaknya pihak yang meminta "jatah preman" kepada mereka.

Nah dalam Pilkada DKI, fenomenanya jauh berbeda. Dari data Exit Poll sejumlah lembaga survei dan juga fakta di sejumlah TPS menunjukkan, tingkat partisipasi dan soliditas mereka sungguh luar biasa. Di kantong-kantong pecinan, seperti Pluit, Jelambar, Kelapa Gading dan sejumlah tempat lainnya di Jakarta, mereka berbondong-bondong antre di TPS-TPS. Di TPS Mall of Indonesia (MOI) Kelapa Gading antrean mereka mengular, bahkan sampai pukul 14.00 WIB. Padahal seharusnya TPS pukul 13.00 Wib sudah tutup.

Mereka juga sangat militan memperjuangkan hak suara mereka. Dengan modal KTP mereka bersedia bersitegang, berteriak-teriak bahkan membentak petugas TPS, untuk dapat memilih. Dalam penghitungan suara, mereka juga melakukan sapu bersih. Suara mereka bulat penuh mendukung paslon nomor 2 Basuki-Djarot. Di beberapa TPS bahkan suara mereka 100% untuk paslon nomor 2. Dahsyat. Demikian pula halnya suara pemilih Kristen/Katholik yang lebih dari 95% lari ke Ahok-Djarot.

Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, bahkan tak segan mengumbar kekaguman dan apresiasinya. Dahnil menilai Pilkada DKI 2017 sebagai potensi kebangkitan politik mereka. Dahnil tidak melihat itu sebagai sebuah bentuk politik aliran karena mereka solid memilih calon yang seetnis dan seagama.

Fenomena sebaliknya terjadi dengan pemilih muslim. Banyak kalangan muslim yang mengaku dirinya muslim, bahkan mengecam ketika ada yang menyerukan agar memilih sesama pemimpin muslim. Padahal landasannya sangat jelas, yakni kitab suci yang menjadi landasan keimanan umat Islam. Perlu dicatat, yang diserukan selama ini adalah memilih pemimpin SESAMA MUSLIM, BUKAN SESAMA ETNIS. Berbagai label ditempelkan, mulai dari yang ringan, berupa politik aliran, sampai istilah yang sangat keras: dungu, bodoh, terbelakang, radikal, anti-pluralisme dan yang paling serem adalah anti-kebhinekaan, anti-NKRI.

Dalam demokrasi modern, memilih berdasarkan etnis, agama dan kedekatan-kedekatan lain, adalah soal biasa. Di Amerika selama ratusan tahun bahkan dikenal sebuah istilah White, Anglo Saxon, and Protestant (WASP). Muncul semacam kesepakatan bahwa yang boleh dan bisa menjadi Presiden Amerika Serikat haruslah seorang kulit putih, dari negara Anglo Saxon ( British) dan beragama Protestan. Butuh ratusan tahun untuk dapat menerima seorang Katholik (Presiden ke- 35 John F Kennedy) dan kemudian kulit hitam (Presiden ke-44 Barack Obama) untuk menjadi Presiden. Bagaimana dengan muslim?

Jadi seharusnya sangat wajar sebagai mayoritas secara populasi, pemilih Islam juga menghendaki dan memilih pemimpin Islam. Begitu pula sangat wajar bila etnis Cina maupun non-muslim menghendaki dan menginginkan pemimpin yang berasal dari kelompok dan sesama mereka. Mereka boleh saja bercita-cita menjadi gubernur bahkan presiden Indonesia.

Tidak perlu ada label rasis, sektarian bahkan radikal. Namanya usaha, kok disalah-salahkan, digoblok-goblokkan. Dalam sosiologi fenomena itu disebut sebagai In-Group feeling. Yakni sebuah kelompok sosial yang individu-individunya mengidentifikasikan dirinya dalam satu kelompok. Masalahnya bagaimana cara dalam meraih kekuasaan itu dan untuk apa kekuasaan itu sendiri.

Dalam sejarah dunia, kekuasaan yang dipegang oleh pemimpin muslim, terbukti sangat mengayomi para pemeluk agama lain dalam kehidupan politik, keagamaan dan sosialnya. Sangat banyak contoh soal ini. Mulai ketika Nabi Muhammad memimpin pemerintahan di Madinah, dinasti Abbasiyah di Andalusia, Usmaniah dan tentu saja jangan lupa apa yang terjadi dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia. Walupun bukan negara Islam, tapi pemimpin dan mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam. Kehidupan beragama di Indonesia sering disebut sebagai sebuah contoh bagi dunia.

Cerita sebaliknya justru terjadi di negara-negara dimana Muslim menjadi minoritas. Contoh paling aktual adalah apa yang terjadi dengan komunitas Rohingya di Myanmar. Mereka diperlakukan layaknya bukan manusia, hanya karena alasan etnis dan agama yang berbeda dengan mayoritas warga dan penguasa.

Jadi bagi anda yang Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghuchu, atau etnis Cina, Jawa, Sunda maupun Papua, silakan anda memilih berdasarkan kesamaan agama atau etnis. Tak perlu khawatir dicap dungu, bodoh, tak beradab, apalagi bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi.

Hanya orang "dungu dan bodoh" ---maaf saya terpaksa meminjam istilah yang sering dipakai mereka--- apalagi kalau dia juga seorang muslim, yang menilai bahwa memilih sesama muslim sebagai pemimpin sebagai tindakan dungu, bodoh dan terbelakang. Berpikir seperti itu dalam bahasa santun dapat di sebut 'akalnya berada di belakang lidah'.

Renungan Buat Kaum Pribumi indonesia


Iwan mahasiswa UI, bercerita. Suatu hari ia jalan-jalan ke Singapura. Ia kagum dengan kemajuan, sistem, keteraturan dan kebersihan Singapura. Di sebuah masjid, seusai sholat Dhuhur ia bertemu dengan Rauf, warga muslim melayu asli Singapura.

Iwan berkata: Rauf, Anda pasti puas dan gembira dengan kemajuan Singapura. Semua tempatnya bersih, alat transportasi teratur dan maju. Saya dengar pelabuhan Anda bahkan termasuk yang paling sibuk di Dunia, baik laut maupun udara. Sekarang ini, ekonomi Singapura paling maju di Asia Tenggara.

Rauf menjawab: Saya ini muslim Melayu. Kemajuan Singapura dengan yang sudah disebutkan memang benar. Tapi bukan kami yang menikmatinya. Sekarang Singapura buat kami seperti negara baru dan kami orang asing.

warga-miskin-singapuraKami tergeser, sekarang tinggal di pinggir-pinggir kota, juga mengontrak karena tak sanggup membeli rumah atau apartemen. Untuk itu saja kami harus bekerja keras. Biaya hidup di sini sangat tinggi, tak sempat kami jalan-jalan menikmati kota. Kalian lihat, ada berapa gelintir Melayu jalan-jalan di mall atau tempat rekreasi? Hampir tak ada.

Dulu Singapura kota yang sederhana, tapi kami jadi muslim yang lebih bebas dan bahagia. Sekarang, jangan lagi suara mengaji, suara adzan tak ada, kecuali di dalam masjid. Jumlah masjid juga sangat sedikit. Di kota hampir tak ada, di mall-mall juga hampir tak sedia tempat sholat.

Dulu kami bebas makan di mana suka. Sekarang, makanan halal susah dicari kecuali di kampung-kampung kita saja. Ke kota, kami bawa bekal, karena kalau tidak mestilah puasa, hampir semua makanan kita lihat tak halal.

Bahasa Melayu pun tak lagi dipakai, Semua orang cakap Inggris dan Mandarin.

Negeri kami sekarang ibarat diambil orang.

Iwan tercengang, tidak pernah ia terpikir hal semacam ini.

Iwan: “Ini negeri kalian, mengapa tak buat perubahan?”

Rauf tersenyum kecut, lanjutnya: Dulu kami bisa, kami mayoritas. Sekarang jumlah kami hanya 20% saja dan terus berkurang. Reklamasi dibikin terus, tapi yang menempati bukan kami, orang baru, orang asing. Apa bisa buat dengan jml sedikit? Ini sudah jadi negara demokrasi, semua ditentukan dengan suara terbanyak.

Yang mengejutkan Iwan adalah kata-kata Rauf terakhir:

“Sepertinya sebentar lagi juga terjadi pada negeri Anda.”

Rabu, 15 Februari 2017

Kelar hidup loe

Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani
Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani

Kenal dengan foto ini? Tidak kenal juga tidak apa. Sy juga tidak kenal. Terpisah jauh jarak dan waktu kita dengan beliau. Nama beliau adalah 'Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani'. Lahir di Serang tahun 1813 M, saat Belanda masih menjajah Indonesia. Otaknya dikenal encer sejak 5 tahun, usia 15 dia sudah naik haji, dan berguru dengan ulama2 mahsyur Arab. Kalau generasi sekarang, 15 masih SMP, beliau sudah jauh sekali merantau mencari ilmu.

Pulang ke Banten, dia menjadi ulama yang gagah berani melawan penjajahan Belanda. Repot sekali penjajah, karena jaman itu persis Pangeran Diponegoro juga sedang perang di tanah Jawa. Mencegah front besar terbuka, Belanda harus membatasi gerak-gerik Al Bantani, ceramahnya dilarang, semua dilarang, diawasi. Jangan sampai Al Bantani jadi Dipenogoro berikutnya. Tahun 1830, di tahun yg sama ketika Pangeran Diponegoro dijebak Belanda dengan cara licik, melihat situasi, Al Bantani memutuskan kembali ke Mekah.

Apakah dia lari dari melawan penjajahan? TIDAK. Dia justeru memulai episode baru melawan hal tersebut. Dia memutuskan menetap di Mekah, mengajar di sana, menggelorakan semangat kemerdekaan kepada cendekia, muslim Indonesia yang naik haji. Jaman itu sudah banyak penduduk Nusantara yg pergi menunaikan haji, naik kapal.

Wah, wah, itu lebih serius lagi. Menanamkan pemahaman terbaik, semangat kemerdekaan, ke generasi berikutnya, itu sungguh berbahaya. Belanda mengutus Snouck Hourgronje, mematai-mati Al Bantani di Mekah. Si mata2 yg justeru terpesona melihat ahklak Al Bantani. Dalam beberapa catatan, Snouck memuji Al Bantani.

Nama Al Bantani mahsyur di Arab, dia bahkan diangkat jadi Imam masjidil Haram. Reputasinya hingga Mesir, dan negara2 tetangga. Orang2 tahu, ada ulama Indonesia yang tinggal Mekah, dan dia sedang melawan penjajah Belanda. Bukan beliau yang melawan penjajah secara langsung, tapi saksikanlah murid2nya.

Ngeri melihat daftarnya, karena K.H. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), adalah salah-dua dari murid2 yg sempat belajar kepada Al Bantani. Menurut cerita (tapi ini perlu divalidasi), K.H. Hasyim Asyari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng menangis jika membaca kitab fiqih Fath al-Qarîb. Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asyari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.

Selain Al Bantani, juga ada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama Indonesia yang menjadi non-arab pertama imam masjidil haram. Juga tak terbilang jasa beliau mendidik tokoh2 pejuang kemerdekaan di tanah Mekah. Murid2nya juga buanyak.

Kenanglah Al Bantani (nama ini artinya 'dari Banten), ulama besar yang menulis setidaknya 115 buku, meninggal di tanah Arab tahun, 1897. Makam beliau bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq.

Tidak terhitung murid2nya kemudian, menjadi pejuang kemerdekaan, hidup mati melawan penjajah Belanda. Besar sekali arti ulama2 di tanah Mekah bagi kemerdekaan Indonesia. Kagak ada mereka, (meminjam istilah anak muda kekinian) kelar hidup lu. Mungkin kita semua masih jadi jongos penjajah.

Sumber: Facebook Tere Liye

Selasa, 14 Februari 2017

Seandainya waktu bisa diputar mundur

Suriah
Suriah

Seandainya waktu bisa diputar mundur.
Kita kembali ke saat Suriah sebelum dipimpin Bashar Assad.

Saat itu Bashar Assad sedang masa kampanye, mengambil hati masyarakat suriah.

Dgn iming2 kesejahteraan dan persamaan hak bagi warga suriah, warga jatuh cinta dgn bashar assad.

Para ulama di suriah diam, tdk persoalkan keyakinan bashar assad syiah sosialis (syiah komunis).. mungkin bagi mereka siapa sj yg jadi presiden, suriah tetap saja begitu.. yg penting negara aman2, bisa makan, bisa cari hidup persetan dgn pemilu, presidennya siapa tdk pusing..

Kalau ada yg sebarkan aib assad soal keyakinan syiahnya dan komunis, maka ditangkis dgn tuduhan provokator penyebar hoax..

Begitu basar assad jadi presiden ternyata janji2nya di ingkari, syiah semakin berkembang..

Rakyat mulai marah karna ulama diintimidasi, beberapa orang diculik..

Makin lama kelakuan syiah komunis makin biadab.. warung muslim ahlusunnah di jarah syiah, wanitanya diperkosa dimasjid.. puncaknya anak laki-laki SMP diculik, mata dicungkil, tulang rusuk patah, kemaluam dipotong.. kemudian mayat dikembalikan ke keluarga dgn kondisi sangat mengenaskan..

Disitulah baru muncul pernyataan ulama yg menyerukan bashar assad berhenti dari kezolimannya atau rakyat paksa assad diganti dari presiden.. bashar juga layak dikudeta karna sdh kafir dan zolim..

Makin kerasa hati si bashar, ulama dibunuh, rakyat di bom.. jutaan muslim meninggal..

Jika waktu diputar mundur sebelum bashar jadi presiden.. Apa yg seharusnya dilakukan muslim suriah ??

Bukankah lebih besar mashlahatnya jika muslim dan ulama di suriah bersatu untuk menggagalkan upaya bashar assad jadi presiden??

Bukankah upaya mencegah bashar asad jadi presiden adalah upaya supaya kedepan tdk perlu ada kudeta, tdk perlu jutaan nyawa melayang ??

Apakah salah jika ulama suriah waktu itu menyerukan umat kembali ke almaidah 51 haramnya pemimpin kafir, sebab keyakinan bashar assad sdh kafir, sehingga bashar assad gagal jadi presiden??

-----

Baik, sekarang kita ke kondisi indonesia sekarang.

Posisi Ahok, bashar assad, muslim suriah dan muslim indonesia sedikit mirip..

Ahok saat ini di dukung Partai Komunis Cina dan syiah..Ahok juga kafir..
Mirip bashar Assad..

Indonesia mayoritas sunni, rakyatnya 80% muslim.. ini mirip kondisi negra suriah..

Apa yg membedakan suriah dgn indonesia?

Kalau suriah mereka merelakan syiah dan kafir berkuasa..

Kalau indonesia tdk mau dikuasai pemimpin kafir..

Maka apa yg dilakukan ulama dan muslim indonesia di GNPF MUI adalah upaya jangka panjang menjaga stabilitas negara, kemanan NKRI, mencegah komunis dan syiah berkembang..

Maka salahkah ulama kita bersatu mengingatkan umat soal almaidah 51??

Jangan kalian tuduh ulama kita pembuat makar, mengganggu stabilitas negara dan provokator yang suka buat gaduh hanya karna mereka mengingatkan umat soal almaidah 51.. Hanya karna ulama kami mendakwahkan agar umat kembali ke Quran dan sunnah dalam memilih pemimpin..

Siapa musuh utama ketika ulama mendakwahkan almaidah 51 haramnya pemimpin kafir?? Sudah pasti kumpulan orang2 kafir, munafiq yang ingin mensukseskan si kafir jadi pemimpin indonesia..

Dakwah itu perlu nyali bung.. karna amar ma'ruf Nahi mungkar itu sama kita cari musuh.. Resikonya dituduh makar, difitnah, dibilang provokator, di bully, dipenjara, dipukul bahkan bisa dibunuh..
Tapi kalau antum takut ya sudah mending diam, tidur dirumah.. tunggu2 syiah-komunis berkuasa dan siap gorok leher ulama.. atau mungkin leher antm juga ikut di gorok..

#saveindonesia #savenkri

Sabtu, 04 Februari 2017

Firaun bisa membangun

Firaun bisa membangun
Firaun bisa membangun

Kalau ada orang muslim dukung ahox karena katanya ahox bisa membangun, maka sampaikanlah pada dia bahwa firaun bisa membangun mesir menjadi negara gemerlap, penduduknya hidup makmur tapi fir'aun menistakan Agama Allah, maka Allah hancurkan dia.

Kalau ada orang Muslim dukung ahox karena katanya ahox bisa membuat Jakarta menjadi modern, maka sampaikanlah pada dia bahwa namrud bisa membangun Messopotamia menjadi negara yang moderen, bangunan menjulang ke atas dengan teknology canggih saat itu. Hanya namrud menistakan Allah, maka Allah hancurkan dia.

Kalau ada orang Muslim dukung ahox karena katanya ahox bisa menjadikan hidup makmur, maka sampaikanlah pada dia bahwa Bangsa saba' bisa membangun negerinya menjadi negara yang makmur, bebas korupsi. Dan kaum saba' menistakan Agama Allah, maka Allah hancurkan mereka.

Percaya lah orang yang selalu bersama Allah tidak akan pernah kehilangan apa apa,tapi orang yang kehilangan Allah maka ia akan kehilangan segala nya.

Saya tidak benci dengan orang non muslim dan etnis china, tapi Allah dengan firmannya melarang saya untuk memilihnya sebagai pemimpin apalagi jika mereka berani menista agama kami.

Saya tidak ingin berdebat dengan Anda yang mendukung mereka, apalagi jika Anda yang orang islam. Bagaimana saya bisa meyakinkan Anda, sedangkan Firman Allah saja anda tidak yakini dan Anda abaikan.

Sumber: Tulisan Aa Gym